Oleh: Jamhuri
Dunia Maya ataupun Media Sosial beberapa hari ini diramaikan dengan pemberitaan tentang pernyataan Ketua DPRD Provinsi Jambi Muhammad Hafiz atau yang dikenal dengan sebutan Hafiz Fattah yang dianggap sebagai suatu ungkapan kontroversial dan dipandang oleh sejumlah kalangan sebagai sesuatu yang tabuh atau tidak pantas untuk diucapkan oleh seseorang yang menyandang status kehormatan sebagai wakil rakyat.
Pernyataan yang melahirkan polemik tersebut ditanggapi dengan ungkapan yang bersifat pro dan kontra dengan menempatkan akumulasi sikap antipati lebih besar dibandingkan dengan jumlah yang mencoba memahami karakter emosional yang bersangkutan. Dengan asumsi lebih banyak suara yang menghujat daripada pihak yang berpura-pura sebagai dewa penyelamat pemberi pembelaan.
Hujatan yang bertumpu dan diarahkan pada narasi atau diksi yang diucapkan secara lantang oleh yang bersangkutan dengan penuh emosi pada saat menemui demonstran yang berasal dari barisan mahasiswa, dengan menggunakan kalimat tanya berbahasa daerah Jambi: “Apo selero kau?”.
Suatu ungkapan yang dinilai atau dipandang sebagai suatu bentuk bahasa premanisme atau suatu ungkapan yang berlaku dalam dunia kriminal atau kejahatan yang digunakan oleh preman kampung dalam menunjukan karakter individu sebagai orang bagak ataupun sebagai seorang jagoan yang paling jago dari segala jagoan.
Jagoan atau preman dengan keyakinan tinggi meyakini bahwa hanya kekerasan dan kekuatan yang dapat menyelesaikan masalah. Lebih layak dinilai sebagai ungkapan dari seorang manusia gagal yang tidak mengenal bahasa diplomasi dan attitude yang disebabkan karena memang tidak pernah mengenyam pendidikan baik formil maupun non formil sebagaimana mestinya. Sehingga tidak mengerti dan memahami serta menghayati arti Etika dan Moral serta Peradaban bangsa yang berazazkan Pancasila.
Sikap dan Pernyataan yang jika dilihat dari sudut pandang Psikologi Sosial merupakan suatu tindakan kekerasan psikis artinya, kekerasan dilakukan untuk menjatuhkan mental seseorang agar menjadi tidak percaya diri. seperti kata-kata yang memfitnah, kata-kata yang mengancam, menakutkan, menghina atau membesar-besarkan kesalahan.
Dengan salah satu cirinya yaitu adalah merendahkan dan mengerdilkan orang lain supaya dirinya kelihatan lebih Superior di mata orang lain, dimana tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan kekerasan verbal.
Sepertinya suasana saat aksi unjuk rasa mahasiswa tersebut menunjukan adanya suatu kondisi dalam berinteraksi sosial yang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor proses kejiwaan namun juga oleh kondisi lingkungan. Faktor lingkungan berlaku dominan seperti norma, nilai-nilai, etika, moralitas, aturan sosial, budaya, cuaca, dan lainnya.
Indikator lingkungan tersebut mempengaruhi harga diri, etos kerja, kebanggaan, semangat hidup, ataupun kesadaran orang dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Peranan keluarga, teman pergaulan, dan orang-orang dalam lingkungan juga membentuk kepribadian seseorang, mendorong semangat, prestasi seseorang dalam mencapai keberhasilan.
Keadaan yang menunjukan adanya kekacauan mentalitas dan moralitas yang disertai dengan kehadiran kepribadian dan menurut Profesor Wood "Kepribadian negatif dihubungkan dengan cara melihat orang lain secara negatif.” Kecenderungan dalam melihat orang lain secara negatif mengindikasikan kemungkinan besar depresi dan berbagai gangguan kepribadian.".
Sikap dan pernyataan yang terkesan tidak sama sekali memahami dan menyadari akan koridor norma-norma sosial khususnya pada ruang lingkup interaksi sosial dengan salah satu ungkapan yang ditata rapih pada kalimat bijak yang mengatakan bahwa “Seseorang itu tidak dilihat dari seberapa kaya, bahkan seberapa tinggi pendidikannya, tapi bagaimana cara memperlakukan orang lain, itulah yang sesungguhnya menunjukkan Value (nilai) kamu.“
Aksi individu yang dilakukan dihadapan massa dan pihak Kepolisian tersebut merupakan suatu tindakan pemberitahuan menyangkut tentang batasan pengetahuan akan sejarah yang amat rendah atau bahkan rendah sama sekali. Tindakan yang melupakan catatan sejarah tentang runtuhnya kekuasaan kaum diktator, yang tidak terkecuali dengan penyandang gelar Diktator abadi (Dictator perpetuo) termasuk yang disebabkan oleh kehancuran etika dan moralitas.
Salah satunya adalah kisah tenggelamnya Fir’aun bersama kekuasaannya di lautan merah, dan cerita sederet nama tokoh-tokoh diktator antara lain seperti: Isaias Afewerki Presiden Eritrea di kawasan perbatasan dengan Ethiopia, Jenderal Idi Amin Dada Oumee Presiden Uganda berpangkat Jenderal yang diberi julukan "Penjagal Uganda", ia dianggap sebagai salah satu penguasa bentuk pemerintahan (despot) paling terkejam dalam sejarah dunia.
Selain nama-nama tersebut juga terdapat catatan sejarah tentang Basyar Hafiz al-Assad dan Hafez al-Assad kedua-duanya adalah Presiden Suriah, Presiden Fijji Komodor Josaia Voreqe Bainimarama OStJ, atau lebih dikenal dengan Frank Bainimarama, Mohamed Siad Barre Presiden Somalia yang dalam bahasa Somali disebut Maxamed Siyaad Barre, Jenderal Umar Hasan Ahmad al-Basyir Penguasa Sudan, Anastasio Somoza GarcÃa Presiden Nikaragua, Adolf Hitler, Musolini dan masih banyak lagi nama-nama lainnya. Mereka semua adalah korban dari kesalahan cara berpikir dan kehancuran etika dan moralitas dalam melakukan interaksi sosial.
Kembali ke persoalan tudingan miring publik terhadap ucapan emosional ketua DPRD Provinsi Jambi, apapun dalih dan klarifikasi atau penjelasan yang disampaikan kepada publik, namun tak pelak lagi sepertinya keadaan yang bersifat kontradiktif tersebut menghendaki kehadiran hukum ditengah-tengah masyarakat agar segala sesuatu persoalannya benar-benar menjadi terang benderang sebagaimana mestinya.
Keadaan yang menjadi terang dan jelas melalui pelaksanaan proses hukum sebagaimana azaz dan kaidah atau norma serta prinsip hukum pembuktian terhadap ungkapan yang dianggap dan dinilai oleh publik sebagai ungkapan yang tidak pantas diucapkan oleh seorang dengan status sosial sebagai orang terhormat yang memimpin para wakil rakyat atau yang dipandang sebagai bahasa budaya premanisme yang tidak beretika dan serta tidak bermoral.
Sepertinya hal itu merupakan suatu pandangan yang menggunakan tinjauan hukum yang sepakat untuk menjadikan etika sebagai bagian dari filsafat. Dimana etika adalah suatu bentuk aturan yang mengatur tentang pantas dan tidaknya sesuatu sikap dan prilaku manusia sebagai makhluk sosial (Zoon Politicon).
Dalam kehidupan bermasyarakat, dimana berdasarkan etimologi konsep yang dicetuskan oleh Aristoteles tersebut (zoon politicon) memiliki pengertian bahwa manusia memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya atau berhubungan secara timbal-balik dengan manusia lainnya.
Manusia sebagai makhluk sosial diejawantahkan dalam bentuk kesepadanan yang berada dalam suatu kebebasan untuk berbuat dan bertindak menurut keinginannya sendiri. Namun, tindakan ini akan lebih sangat berarti ketika dilakukan di tengah-tengah manusia lain karena eksistensi dan perkembangan seorang manusia bergantung pada eksistensi manusia lainnya.
Sementara dimensi kesosialan dapat berarti bahwa seseorang menemukan jati dirinya ketika bersama orang lain, dan di lain sisi dimensi politis kehidupan manusia adalah suatu fungsi pengatur kerangka kehidupan masyarakat, baik yang diatur secara normatif maupun secara efektif.
Dalam konteks persoalan wakil rakyat sederhananya ungkapan tersebut dapat diartikan sebagai aturan yang mengatur hubungan antara penerima dengan pemberi amanat, atau merupakan suatu ungkapan filosofis tentang hubungan ketergantungan antara sesama manusia sebagai makhluk hidup.
Hubungan ketergantungan dengan suatu pandangan yang menyatakan pernyataan dengan suatu ungkapan yang berbunyi “jangankan untuk menjadi wakil rakyat untuk urusan kematian atau setelah menjadi mayat saja manusia masih membutuhkan manusia lain untuk sampai terkubur di dalam liang lahat”. Artinya manusia teramat sangat membutuhkan jalinan hubungan inter aksi dalam koridor etika moral kehidupan sosial sebagai sesama makhluk Tuhan.
Dalam konsep sosiologi, makhluk sosial adalah sebuah konsep ideologis dalam masyarakat atau struktur sosial yang dipandang sebagai sebuah organisme hidup suatu kehidupan. Dimana semua elemen masyarakat adalah merupakan suatu bentuk organisme sosial yang memiliki fungsi guna untuk mempertahankan stabilitas atas ritme alunan simponi kehidupan yang penuh dengan rasa kebersamaan dan kesetaraan serta saling menghormati antara satu dengan yang lainnya.
Termasuk hubungan antara rakyat atau masyarakat sebagai pihak pemberi dengan wakil rakyat sebagai penerima mandat ataupun sosok yang dinilai memiliki etika dan moralitas manusiawi sebagai penerima amanah.
Secara yuridis walau dipandang dengan azaz causalitas (hubungan sebab akibat) akan tetapi belum dapat dipastikan apakah kejadian tersebut memang lebih dilatar belakangi karena karena adanya kesalahan dalam proses kegiatan memilih dan dipilih yang diwarnai dengan ketidak mampuan memilah etika dan moralitas bakal calon yang akan dipilih sebagai wakil suara dan kepentingan rakyat.
Mandat yang amat identik dengan suatu pekerjaan atau stratifikasi sosial bersifat musiman bak system yang berlaku dalam hukum perikatan ala out sourcing, dimana para penerima mandat menerima pengalihan kedaulatan dari rakyat untuk menerima segala penghasilan dan fasilitas serta kehormatan yang diberikan oleh masyarakat untuk jangka waktu yang telah ditentukan.
Dengan kata lain, pada konteks persoalan mewakili rakyat Etika dan Moralitas adalah suatu perangkat peraturan yang mengatur hubungan antara masyarakat dengan sosok yang dianggap layak menyandang status sebagai seorang pemimpin orang-orang yang katanya mewakili rakyat.
Hubungan memilih dan dipilih yang merupakan suatu hubungan antar sesama manusia sebagai makhluk yang memiliki ketergantungan antara satu dengan lainnya serta memiliki kegunaan untuk menjaga keutuhan masyarakat dan menjaga agar manusia tidak bergeser status sosialnya yang semula sebagai makhluk mulia berubah menjadi sosok makhluk Tuhan yang hina dina sebagaimana kehinaan Iblis dan setan yang terkutuk.
Dengan kehadiran hukum sebagai implentasi dan interprestasi daripada konsep negara hukum (recht staat) sebagaimana diatas diyakini akan mengembalikan kondisi politik dan kekuasaan di lingkungan DPRD Provinsi Jambi akan kembali menjadi kondusif sesuai dengan tujuan dan fungsi serta kemanfaatan hukum atau setidak-tidaknya sebagaimana defenisi ilmiah daripada suku kata Etika dan Moralitas.
Seandainya jika tanggapan miring terhadap yang bersangkutan dapat terbukti secara syah dan meyakinkan dihadapan hukum artinya telah terjadi suatu pergeseran etika moral dan akhlak serta adab pribadi yang bersangkutan dalam memandang kekuasaan yang diterima dengan cara menghadirkan Tuhan Yang Maha Esa sebagai saksi.
Pandangan yang melupakan atau tidak mengenal akan landasan utama dari filosofi etika yang merupakan suatu norma standar dalam berprilaku yang secara normatif terdapat dua jenis yaitu norma pribadi dan norma antar pribadi. Untuk norma antar pribadi, terbagi lagi menjadi 2 (dua) cabang: yaitu etika hukum dan etika moralitas. Sementara norma pribadi berkaitan dengan kesusilaan dan agama, yang selanjutnya etika dan moralitas terbagi dua, yaitu etika terapan dan etika kritis.
Etika atau etik bukanlah berupa sebuah ketentuan hukum tertulis akan tetapi sesungguhnya ia berada di atas hukum karena justru di sinilah letak rasionalitas dan moralitas manusia yang seharusnya bisa diukur. Suatu bentuk tatanan hukum yang membuat seseorang tidak akan bisa melakukan sesuatu dengan sesuka hati, karena etik akan menuntun manusia untuk menimbang apa tindakan yang harus dan tidak untuk dilakukan.
Tanpa etika dan moralitas maka akan berlaku pandangan yang meyakini bahwa manusia adalah binatang yang berpikir sebagaimana ungkapan Aristoteles. Kalau manusia tidak berpikir atau tidak menggunakan akal, etika dan moralitas, maka yang tinggal dari manusia tersebut hanyalah element kebinatangan atau unsur hewannya saja. Adanya pertimbangan etika moral yang dilakukan dengan menggunakan proses dan argumentasi yang sesuai dengan aturan main dan peradaban manusia yang ada dan berlaku.
Proses yang membedakan antara pandangan bermoral dengan pandangan salah kaprah oknum yang memandang begitu efektifnya hukum yang bersifat memaksa dan serta begitu mudahnya hukum dimanipulasi oleh kekuasaan sehingga hukum juga dapat dipakai oleh penguasa untuk mengancam kritik pada kekuasaan.
Ironisnya, kritik sejatinya justru malah adalah prilaku etik itu sendiri yaitu praktek membongkar kebenaran dan kesalahan dalam pikiran atau cara berpikir ataupun dalam suatu tindakan dan ungkapan ataupun prilaku.
Di tangan penguasa yang tidak lagi melihat etik atau etika sebagai sesuatu yang penting, bahkan sejumlah prinsip etika dan moralitas bisa dipinggirkan dengan mudah, akan berakibat hukum negara akan berubah menjadi hukum rimba.
Artinya manusia telah benar-benar telah berubah menjadi monster-monster liar haus kekuasaan. Ukuran elektabilitas dianggap hanya sebatas tentang popularitas yang bisa dibuat dan dicitrakan dengan menkesampingkan etikabilitas yang merupakan suatu ukuran akan tingkat kemampuan memahami dan mempraktekkan etik.
Manusia yang tidak lagi menyadari bahwa Etika terapan terkait dengan etika umum, etika kerja, dan etika profesi. Sementara Etika profesi ada dalam berbagai macam bidang kerja, misalnya etika kehumasan, etika jurnalistik, dan lain sebagainya.
Etika yang berasal dari asosiasi atau organisasi atau sesuatu kelembagaan dengan berisikan sejumlah ketentuan-ketentuan yang disepakati tidak terkecuali dengan wakil rakyat yang ditetapkan dalam AD/ART atau pada apa sesuatu ketentuan yang disebut dengan sebutan sebagai the rules of party (peraturan partai) masing-masing.
Berawal dari etika terapan, tersebut maka lahirlah apa yang disebut dengan moralitas, yaitu standar untuk menetapkan suatu tindakan atau keputusan dengan berdasarkan pada nilai-nilai peradaban bangsa dan Moralitas yang dipengaruhi oleh adat istiadat atau sekurang-kurangnya dipengaruh ataupun dibentuk oleh kebiasaan dalam kehidupan berumah tangga.
Moralitas menjadi suatu kebiasaan yang telah diterima dan kemudian menjadi sebuah perilaku yang berdasarkan dengan nilai, etika dan moral dalam kehidupan sehari-hari yang berfungsi untuk mewujudkan motivasi seseorang untuk berprilaku atau melakukan tindakan yang baik dan menghindari tindakan yang menyimpang dari etika moral dan akhlak serta peradaban manusia berpendidikan. Secara harfiah narasi yang dilontarkan oleh yang bersangkutan dan dinilai sebagai atau merupakan sesuatu yang bertentangan dengan etika dan moralitas peradaban ketimuran.
Penilaian sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian besar pengguna dunia maya dan/atau media social yang memandang dengan perspektive penilaian yang bersifat kontroversial. Penilaian yang dapat diartikan dengan mempergunakan konsep yang selaras dengan konsep kepribadian dinamis sebagaimana yang dicetuskan oleh Erik Erikson dengan teori psiko-sosial.
Teori yang menyebutkan bahwa terdapat delapan tahap perkembangan jiwa manusia, dimulai dengan kelahiran dan diakhiri dengan kematian. Sehubungan dengan teori sebagaimana diatas maka pernyataan oknum ketua DPRD Provinsi Jambi sepertinya dinilai oleh publik dengan menduga sebagai sesuatu ungkapan yang tercipta atau terlahir dari penyimpangan cara berpikir serta diawali oleh rendahnya kwalitas moralitas dan cerminan minimnya pendidikan akhlak di lingkungan keluarga dan/atau rumah tangga yang bersangkutan.
Sekaligus merupakan suatu signalement ataupun pertanda atau isyarat alam kepada hukum tentang adanya sesuatu yang salah dalam cara memilih dan dipilih untuk menduduki empuk dan nikmatnya kursi kekuasaan politis.
Dalam konteks perwakilan tersebut secara normative salah satu alasan yang paling mendasar bagi masyarakat awam dalam menentukan pilihan pada proses pelaksanaan pesta demokrasi yaitu disebabkan karena adanya penilaian terhadap etika moralitas yang diyakini dapat mewakili harapan ataupun ekspekstasi masyarakat.
Kepercayaan masyarakat yang ternodai oleh suatu ungkapan yang terlahir atau tercipta dari sikap amoral yang telah menggerus kedudukan filosofis paham suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi Vox Dei).
Selanjutnya merupakan sesuatu yang bergeser seakan-akan menjadi pembenaran terhadap pandangan Nietzsche (Friedrich Wilhelm Nietzsche/Filsuf Jerman) dengan suatu bentuk pernyataannya yang dinilai merupakan suatu pandangan bersifat sangat kontrofersial.
Ungkapan yang menggunakan kalimat sederhana dengan ilustrasi atau gambaran seakan-akan Tuhan sudah mati yang dalam Bahasa Jerman dikenal dengan sebutan "Gott ist tot" atau lebih dikenal sebagai suatu pernyataan mengenai kematian Tuhan.
Pada azaz sebenarnya, Nietzsche mengungkap pandangan yang menyatakan bahwa tiada yang salah dan benar di dalam suatu pertimbangan keakhlakan manusia. Suatu konsep pemikiran yang mengajarkan manusia cara berpikir dan berbuat atau bertindak agar tidak berstatus sebagaimana pepatah Latin yang menilai manusia sama atau identik dengan binatang buas (Homo Homini Lupus).
Pepatah yang hendak mengkritisi tabiat manusia yang suka arogan dan yang kerap kali terjadi pada saat memiliki kekuasaan akan berlaku kejam bak seekor Srigala kepada sesama manusia, atau kerap kali kehilangan prikemanusiaan pada saat mempergunakan kekuasaan dan wewenang serta jabatan dalam berbuat jahat kepada sesamanya.
Suatu bentuk kebiadaban yang seakan-akan telah menerapkan konsep kekuasaan Fir'aun yang menuhankan diri atau sebagaimana konsep Nietzsche yang menyatakan Tuhan sudah mati. Dengan anggapan Tuhan kekal mati dan naluri kebinatangan manusia yang dianggap mampu membunuh Tuhan. Disinilah letak perlu dan pentingnya etika moral dan peradaban manusia untuk mengendalikan diri agar tidak menjadi pembunuh kejam dan paling sadis daripada segala pembunuh sadis.
Hakikatnya bukan jasad physik yang menjadi korban dari hilangnya etika dan moralitas akan tetapi etika akan tetapi akhlak dan peradaban serta harapan rakyat yang mati terbunuh oleh sifat bengisnya birahi dahaga dan euforia kekuasaan.
Etika Moral dan Akhlak sebagai bagian dari jiwa yang paling suci dan kuat di antara segalanya yang telah ternodai oleh buas dan ganasnya birahi-birahi kekuasaan sehingga merasakan seakan-akan diri pribadi yang bersangkutan telah menjadi bagian dari sederetan barisan tuhan-tuhan palsu bagi mereka yang diperbudak oleh birahi atau bagi para penyembah kekuasaan.
Sikap dan perasaan yang digunakan hanya demi untuk tampil layak sebagai pemegang dan/atau sebagai pengendali kekuasaan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Merupakan suatu pemikiran yang identik dengan konsep kekuasaan yang dikemukakan oleh Niccolò Machiavelli seorang Filsuf Italia yang dinilai sebagai politikus tidak bermoral.
Konsep kekuasaan yang dilakukan dengan menetapkan titik tolak pemikiran kekuasaan dari seorang penguasa adalah berupaya untuk mempertahankan kedudukan dan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.
Pemikiran politik yang menitik beratkan pada persoalan tentang bagaimana kekuasaan diraih dan dipertahankan serta berakhir dengan penkultusan diri bersifat individualisme. Bagi seorang Machiavelli sumber kekuasaan adalah negara, oleh karena itu negara dalam pendiriannya memiliki kedaulatan dan kedudukan tertinggi.
Masih menurut pandangan Machiavelli, kekuasaan memiliki otonomi yang terpisah dari nilai moral. Suatu pandangan sebagaimana yang telah dikutip oleh Ladkin dan Probert, (2019) dengan pernyataan yang menurutnya, kekuasaan bukanlah alat yang mengabdi pada jaminan, keadilan dan kebebasan dari Tuhan, melainkan kekuasaan adalah sebagai alat untuk mengabdi kepada kepentingan negara.
Menurut Duffy, (2020) Penguasa berhak melanggar hak-hak rakyatnya bilamana dianggap menghalangi tujuan dan citacita penguasa.
Disamping pendapat sebagaimana diatas Machiavellie berpendapat bahwa manusia beradab hampir pasti akan menyeimbangi egositas yang tidak bermoral, dan tujuan dibentuknya negara adalah murni untuk kekuasaan.
Kekuasaan berarti kebebasan manusia untuk bertindak sesuai kemauan naluriah manusia itu sendiri. Karena konsep pemikirannya tersebut membuat Niccolo Machiavelli yang merupakan salah seorang filsuf Italia diberi julukan oleh Shakespeare dengan gelar sebagai “teladan untuk kelicikan, muka dua, dan itikad buruk dalam perkara politik.
Machiavelli yang kejam, menjadi objek kebencian yang tiada akhir bagi para moralis dengan pendekatan serta sikap konservatif dan revolusioner serupa. Pendapat Machiavelli merupakan suatu pandangan ataupun konsep yang terkesan identik dengan pengertian dari konsep atau pendapat Nietzsche sebagaimana diatas sebagai suatu bentuk pemikiran yang mengisyaratkan sebagai tindakan pembunuhan terhadap Tuhan.
Pada hakikatnya konsep tersebut hanyalah merupakan suatu gambaran tentang keadaan yang menggambarkan suatu sikap arogansi terhadap etika moral yang identik dengan pemikiran atau sikap Fir'aun yang meniadakan tuhan selain daripada dirinya.
Dimana upaya baik yang berupa eksploitasi maupun eksplorasi terhadap etika dan moralitas oleh tokoh kesesatan cara berpikir tersebut harus berakhir ditangan seorang rakyat jelata yang bernama Musa.
Kisah otoriternya seorang Fir’aun dan sejumlah tokoh dictator sebagaimana diatas adalah merupakan suatu gambaran tentang konsep sosiologis yang mengajarkan manusia dengan keyakinan bahwa tiada yang abadi di dunia ini, dan runtuhnya suatu kekuasaan disebabkan oleh kehancuran etika dan moralitas.
Dari kisah besar tersebut mengajarkan bahwa diatas kekuasaan ada kekuasaan yang lebih tinggi dan bersifat Maha Kuasa. Kekuasaan penguasa penerima amanah adalah kekuasaan semu yang dititipkan melalui suara rakyat yang diyakini sebagai suara Tuhan dan tidak kekal abadi serta tidak akan pernah takluk tunduk dibawah naluri kebinatangan apalagi sampai mati terbunuh.
Suatu konsep dalam hukum keterwakilan, dimana kekuatan suara rakyat diyakini merupakan suatu kekuatan yang mewakili kekuatan dari kekuasaan Tuhan guna mengakhiri kekuasaan pemikiran membunuh Tuhan ala Nietzshce.
Secara normative hak perwakilan harus tetap dapat dilaksanakan dengan tetap mengedepankan konsep etika politik yang berarti praktek pemberian nilai terhadap tindakan politik dengan berlandaskan kepada etika yang pada umumnya sering disamakan dengan moral.
Terlepas dari semua argumentasi perdebatan penilaian terhadap langkah dan tindakan politik yang menjadi trending topik atau hashtag di dunia maya pada beberapa hari ini pada hakikatnya persoalan tersebut tidak hanya sekedar masalah perbedaan pandangan terhadap etika.
Dimana etika adalah merupakan suatu cabang dari filsafat yang di dalamnya mencakup filsafat tentang moral atau pembenaran-pembenaran filosofis, yang pada hakikatnya antara Etika dan Moral memiliki perbedaan dari segi perspektif dan esensi pengertiannya.
Moral adalah merupakan ajaran tentang prilaku baik dan buruk yang berperan penting sebagai suatu bentuk panduan untuk manusia bertindak. Sementara etika adalah merupakan cabang filsafat yang menyoroti, menganalisis dan mengevaluasi ajaran-ajaran tersebut, tanpa perlu untuk melakukan pengajuan sendiri tentang ajaran yang baik dan buruk.
Kajian etika politik melingkupi filsafat dan etika, dan tindakan dalam etika politik dinilai menggunakan filsafat politik dengan tetap berdasarkan pada kebaikan dan keburukan yang ditimbulkannya. Etika politik merupakan salah satu jenis daripada etika sosial. Fungsi dari etika politik adalah sebagai salah satu pengatur keseimbangan di dalam pemisahan kekuasaan antara antara lembaga organisasi kekuasaan yaitu legislatif dan eksekutif.
Etika politik dikatakan mengambil peran dalam suatu budaya politik jika memiliki kemampuan untuk mengendalikan lembaga-lembaga dan mekanisme politik dengan manfaat untuk menjaga tetap terciptanya pergaulan politik yang bersifat harmonis dan bermoral. Serta bertujuan untuk mempertahankan prinsip-prinsip moral yang digunakan untuk mengatur kehidupan berpolitik yang sehat dan waras dalam kepribadian dan di dalam kehidupan bermasyarakat.
Tujuan etika politik itu sendiri berkaitan dengan cara pertanggungjawaban politikus terhadap tindakan politik dan legitimasi moral individu yang bersangkutan. Disamping itu etika politik juga memiliki tujuan untuk memberikan sesuatu yang berbentuk aturan-aturan dalam pemberian sesuatu pengakuan atas wewenang agar tetap sesuai dengan norma dan azaz serta prinsip kehidupan masyarakat.
Secara etimologi Etika adalah nilai-nilai moral yang menjadi pedoman bagi manusia dalam menentukan mana yang baik dan buruk, dan dalam konteks perpolitikan pada masa kini, etika merupakan pedoman bagi para politikus dan penyelenggara negara untuk melakukan hal yang baik dan menjauhi hal yang dianggap dan dipandang serta diyakini sebagai sesuatu keburukan.
Etika politik juga dapat dijadikan sarana untuk merefleksikan kualitas moral dari para politikus dan penyelenggara negara dalam menikmati empuk dan nikmatnya kekuasaan. Saking tinggi nilai dan berartinya maka Etika Politik dipandang sebagai sesuatu hal yang paling penting dan dibutuhkan dalam setiap kondisi, baik itu dalam kondisi normal, tertib, tenang maupun kacau, seperti dalam menghadapi aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh berbagai element masyakat.
Dalam kondisi kacau, etika politik akan menumbuhkan mekanisme berbicara dengan otoritas, atau dengan kata lain, betapa pun kasar dan tidak santunnya suatu sikap politik dari seorang politikus, setiap tindakannya tetap akan membutuhkan legitimasi. Dalam sudut pandang etika politik, dimensi politis manusia dapat dilihat berdasarkan tiga hal, yaitu manusia sebagai makhluk sosial, dimensi kesosialan dan dimensi politis kehidupan manusia.
Dengan begitu seharusnya kisruh atau polemik yang terjadi di lingkungan gedung perwakilan rakyat provinsi Jambi tersebut tidak perlu menjadi suatu preseden jelek bagi dunia politik dan dunia kekuasaan dengan lahirnya krisis kepercayaan terhadap penyelenggara negara.
Untuk itu tidak ada jalan atau langkah lain selain daripada penerapan kaidah atau norma dan azaz hukum pembuktian sesuai dengan koridor prinsip penegakan hukum (law enforcement).
Serta pemberlakuan secara obyektive konsep atau prinsip persamaan hak dan kedudukan dihadapan hukum (equality before the law). Agar mahalnya harga upaya pemberlakuan Azaz-Azaz Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) tidak menjadi pembiyaan yang bersifat mubazir dan sejumlah undang-undang yang memuat ketentuan tersebut tidak sekedar sebagai tumpukan kertas usang tak bernilai dan Suara rakyat benar berkedudukan sebagaimana dalam semboyan (quotes) Vox Populi Vox Dei (Suara Rakyat adalah Suara Tuhan).(Penulis Adalah -Direktur Eksekutive LSM Sembilan)
0 Komentar