Jambi, J24-Kita sedang menyaksikan bagaimana wajah pendidikan Indonesia perlahan kehilangan cahayanya. Peristiwa dugaan penamparan siswa oleh Kepala SMAN 1 Cimarga di Lebak, Banten, menjadi lebih dari sekadar insiden kedisiplinan. Ia adalah potret retak hubungan antara guru, murid, dan sistem yang seharusnya berdiri di atas nilai-nilai pendidikan—bukan popularitas dan politik pencitraan.
Langkah cepat Gubernur Banten Andra Soni menonaktifkan kepala sekolah, Dini Fitria, mungkin dimaksudkan sebagai bentuk tanggung jawab. Namun di mata publik, keputusan itu justru menunjukkan lemahnya keberpihakan pemerintah terhadap pendidik. Warganet pun bereaksi keras di media sosial, menilai tindakan itu terburu-buru dan tidak proporsional.
“Yang seharusnya dievaluasi bukan hanya individu, tapi kepemimpinan yang gagal menjaga arah pendidikan di Banten,” tulis seorang warganet. Kalimat sederhana itu menggambarkan keletihan rakyat terhadap sistem pendidikan yang semakin kehilangan nurani.
Guru yang Dihukum karena Mendidik
Peristiwa di Lebak hanyalah satu dari banyak contoh betapa rapuhnya posisi guru hari ini. Sebelumnya, di Prabumulih, seorang kepala sekolah dinonaktifkan karena menegur siswa—yang kebetulan anak pejabat—membawa mobil ke sekolah. Kini, pola yang sama berulang: guru yang tegas disingkirkan, sementara siswa yang melanggar aturan dilindungi oleh kuasa.
Mantan Kepala Sekolah SMAN 4 Kota Jambi, Robinson Hutapea, menyebut fenomena ini sebagai kemunduran moral bangsa.
“Ketika sekolah menjalankan penegakan disiplin dengan sungguh-sungguh, justru dilawan oleh siswa, orang tua, dan pejabat. Tidak ada pendampingan, tidak ada payung hukum. Inilah wajah suram pendidikan kita,” ujarnya.
![]() |
Ucapan Robinson bukan keluhan pribadi, melainkan jeritan hati ribuan guru di seluruh Indonesia. Mereka kini bekerja dalam ketakutan: takut menegur, takut bersikap tegas, takut kehilangan pekerjaan hanya karena mendidik dengan benar.
Pendidikan yang Kehilangan Jiwa
Jika mendidik sudah dianggap kekerasan, dan disiplin dicap pelanggaran, maka sekolah kehilangan maknanya. Pendidikan berubah menjadi ruang basa-basi moral: sopan di atas kertas, tapi rapuh di dalam jiwa.
Kita hidup di zaman ketika murid dengan mudah merekam, menuduh, dan menuntut; sementara guru harus meminta maaf karena menegakkan aturan. Ironis, ketika yang mendidik harus tunduk kepada yang dididik.
Negara, sayangnya, tampak abai. Kementerian dan dinas pendidikan lebih sibuk menjaga citra daripada menjaga marwah guru. Tidak ada perlindungan yang jelas, tidak ada regulasi yang tegas, tidak ada pembelaan yang nyata.
Jika kondisi ini dibiarkan, jangan salahkan guru ketika mereka akhirnya memilih diam—tidak lagi menegur, tidak lagi peduli, tidak lagi berjuang. Karena untuk apa berjuang jika keberanian mendidik justru dihukum?
Bangsa yang Menolak Dididik
Krisis pendidikan Indonesia bukan terletak pada kurikulum, tapi pada mentalitas. Kita sedang membentuk generasi yang alergi pada disiplin dan kebingungan membedakan ketegasan dengan kekerasan.
Di tengah hiruk-pikuk reformasi pendidikan, kita lupa bahwa guru adalah tiang moral bangsa. Bila tiang itu diruntuhkan oleh kebijakan yang lemah dan opini publik yang bising, maka runtuhlah rumah besar bernama Indonesia.
0Komentar