Jambi City Center: Ketika Janji Kemegahan Berujung Mangkrak dan Beban Daerah.

Jambi, J24-Di atas kertas, Jambi City Center (JCC) seharusnya menjadi simbol kemajuan ekonomi Kota Jambi. Proyek megah di lahan strategis eks Terminal Simpang Kawat, Kecamatan Jelutung, ini dirancang sebagai pusat bisnis modern dengan skema Build-Operate-Transfer (BOT) antara Pemerintah Kota (Pemkot) Jambi dan PT Bliss Properti Indonesia.

Namun, tujuh tahun setelah diklaim rampung pada 2018, gedung megah itu kini hanya menjadi monumen dari janji pembangunan yang tak tuntas, diam, kosong, jorok penuh gulma dan penuh tanda tanya.

Dalam kontrak BOT, pengembang menjanjikan kontribusi ke daerah senilai Rp 85 miliar selama masa kerja sama ±30 tahun. Tahap pertama, Rp 7,5 miliar, memang sudah diterima oleh Pemkot Jambi. Tapi dua tahap berikutnya, total Rp 77,5 miliar, hingga kini masih sebatas angka di atas kertas.

Yang lebih ironis, kontribusi tersebut bukan sekadar tambahan kas daerah, tetapi bagian dari komitmen moral dan hukum antara swasta dan pemerintah. Ketika proyek tidak beroperasi, maka seluruh mekanisme manfaat daerah ikut lumpuh.

Dari Aset Strategis Menjadi Liabilitas Publik

Bangunan JCC berdiri di atas lahan ±8.842 m², lahan publik yang kini kehilangan fungsi dan nilai ekonominya. Setiap hari gedung itu menua tanpa menghasilkan satu rupiah pun bagi masyarakat.

Laporan keuangan PT Bliss Properti Indonesia mengungkap kenyataan pahit, mall JCC belum beroperasi secara komersial, tidak menghasilkan pendapatan, dan menanggung utang besar ke PT Bank Sinarmas Tbk senilai Rp 252,6 miliar.

Perusahaan juga mengalami defisiensi modal, bahkan mencatat impairment (penurunan nilai) bangunan JCC sebesar Rp 14,5 miliar pada 2022. Semua itu menandakan satu hal, proyek ini secara ekonomi gagal total.

Kapan Pemerintah Bertindak Tegas?

Pemkot Jambi memang mulai bersuara keras. Wacana pengambilalihan aset telah disampaikan, dan Kejaksaan Negeri Jambi mulai menelusuri lebih dalam soal utang, perjanjian, hingga dugaan pelanggaran dalam pengelolaan proyek.

Namun, langkah hukum saja tidak cukup. Pemerintah harus menjawab dua pertanyaan penting: Mengapa proyek sebesar ini bisa dibiarkan mangkrak selama bertahun-tahun tanpa sanksi tegas? Bagaimana mekanisme pengawasan kontrak BOT dijalankan sejak awal?

Jika kontrak BOT yang seharusnya menguntungkan justru membuat daerah rugi, berarti ada kelemahan serius dalam sistem kontrol dan penegakan perjanjian publik.

Kasus JCC mencerminkan kegagalan kolaborasi antara pemerintah daerah dan pihak swasta. Konsep BOT seharusnya menjadi solusi cerdas, pemerintah menyediakan lahan, swasta membangun dan mengelola, lalu menyerahkan kembali aset setelah masa kontrak berakhir.

Namun di lapangan, praktiknya sering berubah menjadi jebakan, proyek selesai dibangun tetapi tidak produktif, pengembang kesulitan finansial, dan pemerintah terjebak dalam ketidakpastian hukum.

Alih-alih mendongkrak ekonomi, proyek seperti JCC justru mengunci aset publik dalam kebekuan ekonomi.

Kini, dengan langkah Kejaksaan yang mulai masuk, publik berharap ada transparansi penuh terhadap isi perjanjian BOT, arus keuangan proyek, dan status utang pengembang.

Pemkot Jambi perlu menunjukkan keberanian, ambil alih, audit menyeluruh, dan publikasikan hasilnya. Karena pada akhirnya, setiap rupiah potensi kerugian bukan sekadar angka, itu adalah uang rakyat yang seharusnya kembali dalam bentuk manfaat nyata.


Pemkot Jambi Siap Ambil Alih 

Jambi City Center dulunya disebut-sebut sebagai “ikon baru ekonomi Jambi”. Kini, ia justru menjadi cermin kebijakan yang gagal membaca risiko. Sebuah gedung yang seharusnya hidup menjadi pusat aktivitas ekonomi rakyat, kini hanya berdiri sebagai simbol bisu dari kelalaian tata kelola proyek publik.

Jika tidak segera ditangani dengan tegas dan transparan, JCC akan terus menjadi pengingat bahwa kemegahan tanpa manajemen adalah kehancuran yang tertunda.

Pemerintah Kota Jambi menunjukkan keseriusan dalam menuntaskan persoalan aset mangkrak Jambi City Center (JCC) yang dikelola oleh PT Bliss Property Indonesia. Langkah tegas ini diambil untuk mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sekaligus mengembalikan fungsi aset bagi kepentingan masyarakat.

Hal tersebut disampaikan Wakil Wali Kota Jambi, Diza Hazra Aljosa Hazrin, dalam rapat paripurna Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Kota Jambi Tahun 2026.

Diza mengungkapkan, Pemkot saat ini tengah meninjau ulang perjanjian kerja sama dengan PT Bliss untuk memastikan proses pengambilalihan aset berjalan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

“Kami masih dalam tahap evaluasi terhadap peraturan dan perjanjian terkait JCC ini. Harapannya, aset tersebut dapat kami ambil alih kembali dari PT Bliss,” ujar Diza.

Menurut Diza, proses pengambilalihan tidak mudah dan membutuhkan waktu serta koordinasi dengan berbagai pihak, termasuk Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI). Meski demikian, Pemkot berkomitmen menyelesaikan persoalan ini demi kepentingan publik.

“Prosesnya memang tidak sederhana, namun kami berkomitmen agar JCC kembali menjadi aset daerah yang bermanfaat untuk masyarakat dan mendukung peningkatan PAD,” tambahnya.

Langkah Pemkot ini mendapat dukungan dari pihak legislatif. Ketua DPRD Kota Jambi, Kemas Farid Alvareli, mengapresiasi langkah eksekutif yang dinilainya tegas dan terarah dalam menyelamatkan aset daerah.

“Kami mendukung penuh upaya Pemkot. Sinergi antara eksekutif dan legislatif penting agar pengelolaan aset daerah ke depan lebih baik dan transparan,” ujar Farid.

Masyarakat juga berharap Jambi City Center yang berlokasi di eks Terminal Simpang Kawat, Kecamatan Jelutung, dapat kembali diaktifkan sebagai pusat ekonomi baru yang memberi manfaat nyata bagi warga dan mendorong pertumbuhan ekonomi kota. (J24-AsenkLeeSaragih)