Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Badai Prahara Kebijakan Kepentingan



Oleh: Jamhuri

Sejumlah kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Provinsi Jambi seakan-akan menjadikan Batubara dan Perkebunan Kelapa Sawit sebagai Kelinci Percobaan untuk menemukan solusi yang tidak pernah memberikan penyelesaian terhadap polemik yang ada dan dirasakan oleh masyarakat.

Bahkan hanya menimbulkan kesan Pemerintah Provinsi Jambi menyelesaikan masalah dengan menciptakan masalah baru, atau dengan kata lain Pemerintah terjebak dalam lingkaran masalah yang diciptakan sendiri hanya demi sebuah kepentingan, dan melupakan defenisi daripada kata “pengabdian” serta mengabaikan nilai-nilai kesakralan sumpah jabatan. 

Penyelesaian Polemik angkutan batubara dan komplik lahan yang melahirkan badai ataupun prahara yang menempatkan masyarakat dan pihak Kepolisian berada pada posisi yang sama yaitu sama-sama sebagai korban atau terjepit diantara kebijakan dan kepentingan. 

Korban dari kebijakan yang terbelenggu oleh keperkasaan kepentingan pemangku kebijakan yang disinyalir telah dengan sengaja menggagalkan diri dalam memahami dan menghayati arti serta gagal mengimplementasikan Azaz-Azaz Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) dalam mewujudkan bentuk dari campur tangan pemerintah sebagaimana konsep negara kesejahteraan (welfare state) sesuai dengan amanat konstitusional menyangkut tentang tujuan negara yang merupakan landasan yang paling fundamental. 

Secara normative terlihat kebijakan pemerintah telah gagal dalam menyelesaikan komplik lahan yang disinyalir terlahir dari kegagalan memahami mekanisme pemberian Hak Guna Usaha (HGU) beserta dengan instrument hukum perizinan lainnya seperti Izin Lokasi dan Izin Prinsip kepada Perkebunan Kelapa Sawit sebagai Investor, serta menimbulkan kesan oknum pemangku kebijakan merupakan bagian utama sekaligus pelaku professional dan terbaik dari praktek mafia pertanahan.

Polemik yang sama juga terjadi pada pertambangan mineral batubara yang mempertontonkan  sejumlah kebijakan penyelesaian masalah dengan menciptakan embrio masalah baru berupa badai prahara kebijakan kepentingan.

Diantara kebijakan-kebijakan yang disinyalir sebagai mesin produksi polemik tersebut jika untuk dunia perkebunan kelapa sawit tidak pernah dilakukan verivali (verifikasi dan validasi) instrument hukum perizinan yang terdapat komplik lahan terutama menyangkut azaz dan norma atau kaidah hukum pertanahan yang bermuara kepada Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). 

Belum pernah terlihat Pemerintah melakukan hal yang sama (verivali) terhadap pemegang izin usaha pertambangan (IUP), Izin Pengangkutan dan Penjualan Batubara (IPP) Batubara serta Perizinan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) Batubara bahkan Pemerintah Provinsi Jambi latah dalam membuat kebijakan angkutan batubara melalui jalur sungai Batanghari.

Kebijakan dengan tanpa memperhatikan berbagai aspek hukum perizinan menyangkut tentang Pelayaran, bahkan Pemerintah terkesan tertutup dan tidak peduli dengan pelaksanaan Dana Jaminan Reklamasi dari sector pertambangan emas hitam tersebut.

Dalam konteks persoalan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pertambangan Batubara, Pemerintah dengan kabinet kerjanya seperti Perkebunan, Pertambangan, Pertanahan dan Perhubungan atau Lalu Lintas disinyalir telah benar-benar gagal dalam memberikan edukasi kepada masyarakat atas kebijakan, program dan tupoksi masing-masing.

Kegagalan yang disinyalir lebih disebabkan terlahir dari kesalahan dalam proses pemilihan ataupun rekrutment struktur jabatan dalam kelembagaan organisasi pelayanan publik, dengan menimbulkan kesan bahwa struktur kelembagaan kekuasaan berisikan dengan pemikiran yang mengandung cacat logika dan cacat nalar serta sesat pikiran.

Pemikiran yang memandang bahwa hak dan kewenangan yang melekat erat pada kedudukan dan jabatan hanya sebagai alat pemenuh keinginan stratifikasi sosial, dan seragam dengan segala bentuk embel-embel symbolisasi kekuasaan sebagai alat pelengkap gaya penampilan guna untuk mendapatkan kehormatan, tanpa harus ditopang oleh kemampuan ataupun kadar profesionalisme. 
 
Penampilan dari pemikiran yang hanya melahirkan kebijakan yang benar-benar jauh dari kata “solusi” dilihat dari perspektif  konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), bahkan terkesan benar-benar merupakan sebuah industri komplik yang menempatkan hukum hanya sekedar sebagai pelengkap persyaratan untuk berdiri dan berdaulatnya sebuah organisasi kekuasaan.  

Pemikiran yang dipenuhi oleh pola konsumtif gaya kekuasaan jabatan yang menjadi centra industri badai prahara yang mampu membuat kemanfaatan hukum bersama dengan tujuan dan fungsi hukum terbang melayang jauh bersama mimpi indah masyarakat dalam penantian panjang kapan kah akan datang kesejahteraan dan keadilan.(J24-Penulis Adalah  – Direktur Eksekutif LSM Sembilan) 

Berita Lainnya

Posting Komentar

0 Komentar