Oleh: Nazarman
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) adalah organisasi profesi wartawan pertama yang lahir sejak Indonesia merdeka. Ia bukan sekadar wadah berhimpun, tetapi simbol kehormatan, etika, dan kemerdekaan pers. Karena itu, setiap langkah dalam organisasi ini harus dijalankan berdasarkan aturan, bukan restu pribadi, bukan kepentingan kelompok, apalagi ambisi kekuasaan.
Namun kenyataan di Kabupaten Merangin saat ini sungguh memprihatinkan. Seorang Pelaksana Tugas (Plt) Ketua PWI Merangin yang seharusnya hanya bersifat sementara, justru bertindak layaknya Ketua definitif.
Ia membentuk struktur pengurus lengkap, melakukan kunjungan resmi ke sejumlah lembaga pemerintahan dan kepolisian, serta mengklaim membawa nama “PWI Merangin terpilih”, padahal Konferensi Kabupaten (Konferkab) sebagai forum sah pemilihan belum pernah dilaksanakan.
Langkah-langkah ini menunjukkan upaya mencari legitimasi dan pengakuan melalui pencitraan kelembagaan, bukan melalui mekanisme yang sah.
Bahkan tampak lucu dan menggelikan, ketika dalam kunjungan pertamanya ke Polres Merangin, yang dibungkus dengan acara silaturahmi, sang Plt bersama para pengurus yang ia klaim sebagai pengurus PWI periode 2025–2028 justru mengundang Kapolres untuk hadir pada acara pelantikan nanti — padahal belum ada Konferkab, apalagi pelantikan resmi.
Inikah wajah baru organisasi profesi yang katanya menjunjung integritas, tapi justru menabrak konstitusi sendiri demi pencitraan?
Ironisnya, dalam pemberitaan di beberapa media, sang Plt menyatakan telah mendapat restu dari Ketua PWI Jambi, Riduan Agus, dan karena itu tidak perlu menanggapi isu miring dari luar.
Pernyataan ini jelas keliru dan menyesatkan. PWI itu harus berdasarkan AD/ART, bukan apa kata Riduan Agus.
Restu pribadi tidak bisa menggantikan keputusan organisasi. Jika organisasi dijalankan hanya berdasarkan restu seseorang, maka marwah PWI akan runtuh.
Sejak awal, sudah diingatkan bahwa Plt bersifat sementara. Ia tidak memiliki kewenangan membentuk struktur kepengurusan definitif. Tugas utamanya hanyalah menjembatani pelaksanaan Konferkab, bukan membangun kekuasaan baru atas nama organisasi.
Lebih ironis lagi, banyak nama yang kini muncul sebagai pengurus tidak pernah terdaftar sebagai anggota resmi PWI sebelumnya. Padahal di masa kepengurusan terdahulu, keanggotaan PWI Merangin memang tidak banyak karena seleksi dilakukan ketat dan sesuai AD/ART — hanya wartawan aktif dan memenuhi syarat yang diterima.
Sebagai mantan Ketua PWI Merangin sekaligus anggota aktif, saya menyaksikan sendiri bagaimana saya dan beberapa anggota sah lainnya tidak lagi diundang dalam setiap kegiatan organisasi.
Pertemuan-pertemuan kini didominasi oleh wajah-wajah baru yang tidak tercatat sebagai anggota sah.
Ini bukan hanya bentuk pengabaian, tetapi pelecehan terhadap prinsip kolektifitas dan penghargaan terhadap anggota resmi.
Sementara itu, Dewan Kehormatan Provinsi (DKP) PWI Jambi juga terkesan mandul dan tanpa suara. Padahal, saat Konferkab sebelumnya gagal, PWI Merangin sudah mengirimkan berita acara resmi berisi poin-poin keberatan atas pembatalan sepihak oleh Ketua PWI Jambi.
Hingga kini, tidak ada sikap dari DKP. Sikap diam ini hanya memperburuk keadaan dan memberi ruang bagi pelanggaran berulang.
Sudah saatnya DKP PWI turun tangan. Diam di tengah penyimpangan berarti menyetujui pelanggaran.
Organisasi profesi sebesar PWI harus dijalankan dengan aturan yang sah, bukan restu personal.
PWI harus berdasarkan AD/ART, bukan apa kata Riduan Agus. Plt bukan Ketua. Jabatan sementara bukan legitimasi kekuasaan.
PWI bukan alat kekuasaan, bukan panggung ambisi pribadi, dan bukan tempat mencari pengakuan semu. Ia adalah rumah besar wartawan sejati, yang berdiri di atas aturan, integritas, dan kehormatan profesi.(J24-Penulis Adalah Mantan Ketua PWI Merangin)
0Komentar