Jambi, J24 - Kasus dugaan kejahatan lingkungan oleh PT Pertamina EP Asset 1 Jambi Field kini memasuki babak paling panas. Setelah mangkir dari panggilan resmi penyidik Polda Jambi, organisasi lingkungan Perkumpulan L.I.M.B.A.H. Provinsi Jambi memutuskan untuk melapor langsung ke Mabes Polri (Bareskrim) di Jakarta. Langkah ini menandai babak baru, perlawanan terhadap dugaan “arogansi korporasi pelat merah” yang selama ini diduga kebal hukum di daerah.
Menurut catatan L.I.M.B.A.H., sejak 2023 hingga 2025, laporan masyarakat terkait dugaan pencemaran dan perusakan lingkungan oleh Pertamina tidak pernah mendapat tindak lanjut berarti.
Wakil Ketua L.I.M.B.A.H., Kang Maman, mengungkapkan fakta yang mencengangkan, “Kami menghormati panggilan Polda Jambi hari ini, tapi Pertamina tidak datang. Ini bukan kali pertama. Sudah tiga tahun laporan kami diabaikan. Sekarang bahkan panggilan resmi Polisi pun mereka abaikan. Ini preseden buruk,” tegasnya.
Ia menyebut ada dugaan kuat bahwa Pertamina memiliki ‘kekuatan super’ di tingkat daerah, sehingga seolah-olah kebal terhadap mekanisme hukum.
“Kami tidak ingin lagi terjebak dalam proses yang diseret-seret. Kami butuh intervensi pusat. Kami akan kirim langsung laporan resmi ke Mabes Polri melalui kantor pusat kami di Jakarta,” tambahnya.
Anak Sungai Ditutup, Desa Kebanjiran
Laporan pidana yang diajukan L.I.M.B.A.H. menyoroti tindakan destruktif Pertamina yang diduga menutup anak sungai vital dengan pancang besi dan timbunan material di kawasan Desa Kota Karang.
Tindakan itu, menurut hasil investigasi warga dan L.I.M.B.A.H., mengakibatkan aliran air tersumbat dan memicu banjir besar di beberapa pemukiman.
Atas dasar itu, L.I.M.B.A.H. menuntut Pertamina dijerat dengan Pasal 98 jo. Pasal 116 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) tentang kejahatan lingkungan yang dilakukan secara korporasi.
“Kalau Polda Saja Diabaikan, Maka Pusat Harus Turun Tangan”
Ketua Perkumpulan L.I.M.B.A.H., Andrew Sihite, menyatakan pihaknya tetap menghormati upaya penyidik Ditreskrimsus Polda Jambi, namun ketidakhadiran Pertamina dalam proses klarifikasi adalah sinyal perlawanan terhadap otoritas hukum daerah.
“Kami apresiasi kerja cepat penyidik Polda Jambi. Tapi ketika BUMN sebesar Pertamina berani mangkir dari panggilan institusi penegak hukum, itu bukan sekadar pelanggaran etik, itu bentuk perlawanan terhadap negara. Kasus ini harus disupervisi langsung oleh Mabes Polri,” ujar Andrew tegas.
L.I.M.B.A.H. menegaskan bahwa langkah ke Mabes Polri adalah upaya memutus mata rantai impunitas korporasi besar yang merusak lingkungan tanpa konsekuensi hukum.
Mereka mendesak agar Bareskrim Polri mengambil alih penyelidikan agar penegakan hukum bisa berjalan bersih, transparan, dan bebas intervensi.
“Kami bukan anti-investasi, tapi kami anti perusakan lingkungan. Hukum harus sama untuk semua, rakyat kecil atau korporasi BUMN sekalipun,” ujar Andrew Sihite.
Kasus dugaan kejahatan lingkungan oleh Pertamina di Jambi kini bukan sekadar isu lokal. Ia menyentuh persoalan lebih besar: apakah hukum lingkungan di Indonesia benar-benar bisa menundukkan kekuasaan ekonomi besar?
Dengan laporan resmi yang segera masuk ke Mabes Polri, publik menanti, apakah aparat pusat berani turun tangan dan menegakkan hukum secara setara, atau justru membiarkan kerusakan lingkungan terus terjadi di bawah bayang-bayang “kebal hukum” korporasi raksasa? (J24-Tim)


0Komentar