Hanyut Saat Hujan, Bocah 5 Tahun Jadi Korban Sistem Drainase Kota Jambi

Jambi, J24 - Kota Jambi kembali berduka. Bukan karena bencana besar yang datang tiba-tiba, melainkan oleh sesuatu yang seharusnya bisa dicegah: drainase kota yang gagal melindungi warganya. Seorang bocah perempuan, Aisyah Zoerlida Nuzul Perkasa (5), meregang nyawa setelah hanyut terbawa arus drainase saat hujan mengguyur kawasan Simpang III Sipin, Kecamatan Kotabaru, Jumat (12/12/2025).

Aisyah bukan korban pertama banjir dan derasnya aliran drainase di Kota Jambi. Namun kepergiannya terasa begitu menyesakkan, karena ia hanyalah seorang anak kecil yang sedang bermain hujan, sebuah kenangan masa kecil yang seharusnya penuh tawa, bukan maut. 

Dalam sekejap, arus air yang tak terkendali menyeret tubuh mungilnya sejauh lima kilometer, hingga akhirnya ditemukan tak bernyawa di semak-semak drainase, Sabtu pagi (13/12/2025).

Korban Aisyah Zoerlida  adalah putri Almarhum Nuzul Prakasa, mantan Anggota DPRD Kota Jambi dan juga pernah menjabat sebagai Ketua DPD II Partai Golkar Kota Jambi yang meninggal dunia, Sabtu (20/3/2021). 

Korban Aisyah Zoerlida juga merupakan cucu dari Almarhum H. Zoerman Manap (Mantan Ketua DPRD Provinsi Jambi dan Ketua DPD I Partai Golkar Provinsi Jambi) yang meninggal sekitar pukul 13.40 WIB hari Senin Tanggal 09 April 2018 di Rumah Sakit Dokter Bratanata Jambi.

Aisyah adalah buah hati dari Tuan Nuzul Perkasa (Alm) dan Nyonya Nurlida. Takdir telah menguji Aisyah sejak dini, hanya dua minggu setelah kelahirannya, ia harus kehilangan sosok ayah kandungnya, Nuzul Perkasa bin Zoerman Manap.

Tragedi ini bukan semata musibah alam. Hujan adalah keniscayaan, tetapi derasnya arus drainase yang berubah menjadi jebakan mematikan adalah hasil dari sistem yang tidak bekerja dengan baik. 

Saluran sempit, penutup yang tidak aman, sedimentasi, sampah, serta perencanaan drainase yang tak ramah anak telah lama menjadi keluhan warga Kota Jambi setiap musim hujan tiba.

Lebih pilu lagi, Aisyah telah kehilangan ayah kandungnya sejak bayi. Ibunya berjuang membesarkannya, membangun rumah impian sebagai simbol harapan masa depan sang anak. 


Rumah itu hampir selesai, namun Aisyah tak sempat menempatinya. Ia justru “dipulangkan” oleh arus drainase kota yang tak pernah benar-benar dibenahi.

Kita patut bertanya dengan jujur, sampai kapan banjir di Kota Jambi hanya dianggap rutinitas tahunan? Sampai berapa nyawa lagi yang harus hilang sebelum drainase diperlakukan sebagai infrastruktur keselamatan, bukan sekadar proyek fisik tanpa rasa urgensi?

Pemerintah daerah tidak bisa lagi berdiri di balik alasan cuaca ekstrem. Evaluasi menyeluruh sistem drainase kota harus segera dilakukan, mulai dari desain, kapasitas aliran, penutup saluran, hingga pengawasan dan perawatan rutin. Drainase bukan hanya soal air mengalir, tetapi soal hidup dan mati warga, terutama anak-anak.

Tragedi Aisyah adalah alarm keras. Jika hari ini dibiarkan berlalu tanpa perubahan nyata, maka hujan berikutnya bisa kembali membawa duka serupa. Kota yang layak huni adalah kota yang melindungi warganya, bukan kota yang membiarkan anak-anaknya hilang terseret arus.

Semoga Aisyah menjadi yang terakhir. Namun doa saja tidak cukup. Perbaikan drainase harus menjadi tindakan nyata, sekarang juga. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.(J24-AsenkLee)