JCC Kebijakan Tanpa Kepastian Hukum ?


Oleh: Jamhuri 

Disinyalir di antara persoalan atau materi yang mewarnai polemik Jambi City Centre (JCC) yaitu tentang keberadaan dan/atau kwalitas daripada baik sebagian maupun secara keseluruhan dari pada isi dokumen Feasiblitity Study (FS) atau Study Kelayakan sebagai perwujudan dari kerjasama antara pihak Pemerintah Kota Jambi dengan pihak Isaac Bliss Tanihaha Direktur Utama PT. Bliss Properti Indonesia yang disertai dengan melahirkan polemik hukum yang menyita perhatian masyarakat banyak (publik) khususnya di Kota Jambi.

Walaupun Feasibilitiy Studi (FS) atau Studi kelayakan tidak disebutkan secara eksplisit (terus terang) di dalam sejumlah ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain seperti pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, dan beserta Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, akan tetapi dokumen tersebut tidak dapat dikatakan hanya sekedar sebagai faedah seremonial belaka. 

Disinyalir polemik tersebut berawal dari kwalitas dokumen Studi Kelayakan ataupun FS yang dimaksud karena konsep tersebut merupakan bagian integral (tidak terpisahkan) dari proses perencanaan dan seringkali menjadi dasar bagi penyusunan, evaluasi dan pelaksanaan kegiatan yang direncanakan. 

Peraturan terkait perencanaan pembangunan akan mengatur bagaimana studi kelayakan harus dilakukan, aktor penanggungjawab dan bagaimana hasil kajian ilmiah studi kelayakan tersebut digunakan dalam proses pembuatan perencanaan atau dengan kata lain sebagai suatu tolak ukur untuk mengukur sejauh mana kepentingan mempengaruhi keinginan privilege yaitu suatu hak istimewa, keuntungan, atau manfaat yang diterima seseorang atau kelompok tanpa perlu berusaha keras dan seringkali terjadi karena faktor sosial, ekonomi, budaya atau identitas tertentu.

Secara normative FS adalah tahap awal perencanaan untuk menilai kelayakan sesuatu kegiatan atau usaha yang direncanakan untuk dilaksanakan atau tidak peninjauan ilmiah yang  dilakukan dengan melihat berbagai persoalan dari berbagai aspek atau faktor serta dari ruang lingkup Hukum Lingkungan seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) dan dokumen sejenisnya antara lain seperti Dokumen Analisis Dampak Lalu Lintas (Andalalin), terutama menyangkut tentang penerapan azaz atau prinsip hukum lingkungan yaitu berupa prinsip atau azaz pembangunan berkelanjutan (Suistanable Development) dan beserta aspek hukum perizinan yang disertai dengan menggunakan perspektif aspek ekonomi yaitu Break Event Point (BEP).

Sederhananya tujuan daripada Feasibility Study yaitu untuk menilai tingkat kelayakan sesuatu kegiatan pembanguan ataupun usaha yang direncanakan dilihat dari berbagai aspek seperti ekonomi, tekhnis, dan aspek hukum. Sekaligus merupakan tahap awal perencanaan sebelum dilanjutkan ketahap akhir yaitu pengimplementasian kegiatan yang dikaji dan direncanakan.

Dugaan pengabaian terhadap beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatas sepertinya dapat dibuktikan oleh pihak berkompeten dengan menggunakan Adendum I Perjanjian Kerjasama para pihak tentang Kerjasama Bangun Guna Serah Pembangunan dan Pengelolaan Pusat Perbelanjaan dan Hotel Pada Lahan Bekas Terminal Simpang Kawat Milik Pemerintah Kota Jambi.

Dengan melihat lebih dalam terhadap surat perjanjian Nomor: 510/547/BPM-PPT/2016 dan dengan perjanjian yang diberi Nomor: 65/ADD-PKS-BOT/BPI/IX/2016 yang ditanda tangani oleh para pihak yang sepakat berkerjasama pada tanggal 01 September 2016, atau setelah lebih kurang selama 2 (Dua) tahun pasca ditanda tanganinya perjanjian kerjasama awal dengan Nomor: 510/424/BPM-PPT/2014 dan Nomor: BPI/LGL-BOTJAMBI/010/IX/2014 tertanggal 15 September 2014.

Adendum itu sendiri didasari dengan adanya surat permohonan yang disampaikan oleh pihak Nomor: 228/SPA/BSG-BPI/VIII/2016 tertanggal 31 Agustus 2016 yang diajukan oleh pihak yang diyakini oleh Pemerintah Kota Jambi waktu itu sebagai Investor dengan Kredibilitas dan integritas yang mampu merubah ketentuan Pasal 12 ayat (2) perjanjian kerjasama awal (2014). 

Akan tetapi perubahan tersebut sama sekali tidak mampu mewujudkan impian kepentingan angan-angan kekuasaan Pemerintah Kota Jambi dalam mengelola dan memanfaatkan Barang Milik Daerah (BMD) guna mencapai tujuan negara sebagaimana amanat konstitusional alinea ke 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 45. 

Dibandingkan dengan isi dari surat persetujuan Walikota Jambi Nomor: 034.1/151/BPMPPT-1/2016 tertanggal 22 Februari 2016 dengan pokok surat persetujuan Menjaminkan Hak Guna Bangunan Atas Tanah Eks Terminal Simpang Kawat Kota Jambi lebih tua atau lebih dahulu dibandingkan dengan adendum tersebut, atau dengan kata lain Adendum dilakukan setelah didapat kenyataan bahwa Pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana pada Surat Persetujuan Walikota Jambi tidak memberikan solusi bagi pelaksanaan kerjasama para pihak tersebut.

Merujuk defenisi dalam konteks yuridis atau legal persetujuan berarti kesepakatan yang syah dan mengikat antara dua pihak atau lebih untuk melakukan sesuatu hal atau menciptakan dan /atau menimbulkan hak dan kewajiban tertentu, jika dibandingkan dengan waktu Adendum I yang dimaksud diberikan dibandingkan dengan persetujuan Walikota Jambi maka dapat ditarik kesimpulan pengajuan agar dilakukan adendum tersebut sebagai bentuk pengakuan bahwa Hak Tanggungan tidak membuat terlaksananya pembangunan JCC sebagaimana harapan yang telah direncanakan.

Dengan kata lain Adendum I tersebut tidak atau bukan penyebab lahirnya Persetujuan Walikota yang dimaksud serta secara implisit memberikan pengakuan bahwa dengan menjadikan HGB sebagai agunan tidak mampu memberikan solusi dari sebuah keinginan yang tidak mampu diwujudkan sebagaimana mestinya oleh Pemerintah Kota Jambi waktu itu.

Walau sama-sama dalam jangka waktu dua tahun maka patut diduga kuat untuk diyakini bahwa Adendum I tersebut baik secara eksplisit maupun implisit memberikan pengakuan bahwa Pemerintah Kota Jambi telah dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 109 Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 78/PMK.06/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemanfaatan Barang Milik Negara (BMN) yaitu pada proses lelang pemilihan mitra kerjasama dimaksud, tidak dilaksnakan dengan azaz Itikad Baik (Good Faith).

Jika proses lelang dimaksud dilaksanakan sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka dapat dipastikan dengan tanpa membebani HGB dengan Hak Tanggungan dan tidak membutuhkan Adendum maka maksud dan tujuan pemanfaatan dan pengelolaan Barang Milik Daerah tersebut akan tercapai sebagaimana mestinya dan sekaligus membuktikan tentang kehadiran Pemerintah atas nama negara ditengah-tengah masyarakat sebagaimana pada konsep negara kesejahteraan (welfare state).

Atau membuktikan adanya niat jahat dari pihak-pihak berkompeten dan berhubungan dalam perjanjian kerjasama pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD) untuk dipergunakan sebagai alat dalam upaya mendapatkan kucuran kredit dari Bank dalam jumlah yang begitu pantastis pada tahun 2023 yang lalu yaitu dengan nilai nomimal sebesar 252,6 Miliar  Rupiah dengan suku bunga 17% pertahun, yang diperkirakan hanya digunakan untuk memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain atau suatu korporasi yang dilakukan secara illegal (melawan hukum). 

Perbuatan menjadikan HGB dimaksud sebagai agunan atau dibebani dengan hak tanggungan dilakukan guna memperkaya diri sendiri yang dilakukan dengan cara menjadikan Surat atau Barang Berharga Milik Negara sebagai agunan kredit yang seolah-olah dipergunakan untuk dan atas nama serta demi kepentingan pemenuhan hajat hidup orang atau masyarakat banyak dan serta untuk kepentingan pembangunan demi tercapainya tujuan negara. 

Berdasarkan fakta administrasi yang tertulis sebagaimana pada Surat Persetujuan Walikota dan Adendum I dimaksud beserta dengan fakta pendukung lainnya seperti Hak Guna Bangunan (HGB), Perjanjian Kerjasama awal (pra adendum), serta kondisi physik lahan dan bangunan gedung  baik secara langsung maupun tidak langsung berkaitan atau memiliki hubungan hukum yang amat sangat erat dengan kedua fakta hukum tersebut.

Dimana baik sebagian maupun secara keseluruhan isi daripada dokumen ataupun fakta hukum dimaksud patut diduga kuat untuk diyakini menunjukan bahwa semua fakta hukum tersebut adalah merupakan sekumpulan barang ataupun benda yang dapat digunakan untuk melakukan proses pembuktian terhadap dugaan adanya sesuatu tindakan ataupun perbuatan yang bertentangan dengan atau mengabaikan ketentuan Pasal 3 dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Di sisi lain, berdasarkan ketentuan pada Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah yang mengatur bahwa Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Guna Bangunan (HGB). 

HGB yang dijadikan agunan lazimnya akan diberikan Sertifikat Hak Tanggunan yang diawali dengan penerbitan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang merupakan akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berisi pemberian hak tanggungan kepada kreditur tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutang yang dimiliki.

Dengan kewajiban mencantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut hal-hal tentang sebagaimana ketentuan Pasal 11 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tangungan dimaksud yang mengatur dengan amanat: “janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji; 

Lebih lanjut amanat konstitusional pada Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut mengatur tentang mekanisme atau tata cara pendaftaran hak tanggungan atas HGB dimaksud yang secara systematis sebagaimana yang telah diatur dengan ketentuan Pasal 10 sampai dengan Pasal 15  Undang-Undang yang dimaksud dan tidak mengatur tentang Persetujuan Walikota merupakan bagian daripada persyaratan pembebanan hak tanggungan.  

Akan tetapi secara eksplisit pengaturan tentang mekanisme pemberian hak tanggungan yang dimaksud mewajibkan untuk didaftarkan pada Kantor Pertanahan sebagaimana ketentuan Pasal 13 ayat (1) mengatur tentang kewajiban mendaftarkan Pemberian Hak Tanggungan dengan amanat:“Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.”

Serta amanat Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan dimaksud mengatur tentang penerbitan tanda bukti adanya hak tanggungan yaitu berupa Sertipikat Hak Tanggungan yang diberikan oleh Kantor Pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Artinya Penerbitan Akta Pemberian Hak Tanggungan beserta dengan Sertifikat Hak Tanggungan adalah murni kompetensi mutlak daripada Kantor Pertanahan.

Menyangkut tentang pembebanan hak tanggungan tersebut oleh Bank Sinar Mas kiranya patut diduga kuat untuk diyakini adalah merupakan suatu tindak kejahatan perbankan yaitu berupa melakukan tindakan atau perbuatan pembobolan Bank yang dilakukan dengan sengaja dan dilakukan dengan cara mempergunakan sesuatu surat yang tidak semestinya dipergunakan sebagai persyaratan dalam suatu transaksi kredit perbankan. 

Suatu perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana pada Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Dengan amanat Konstitusional yang mempunyai kekuatan mengikat dan mengatur agar Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan, kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian (prudent banking principle/prudential regulations).

Tinggal bagaimana hukum dengan mata Themis sebagai dewi keadilan bersama anak-anaknya seperti Eunomia, Dike dan Eirene mampu melihat fakta hukum yang ada terkait persoalan tersebut sebagai barang dan alat bukti yang dapat digunakan melakukan pembuktian terhadap dugaan adanya perbuatan melawan hukum yang wajib untuk diberikan sanksi dengan hukuman Tindak Pidana Korupsi dan/atau memberikan pencerahan yang mengandung efek jera bahwa Feasibility Study (FS) atau studi kelayakan bukan sekedar Formasi Seremonial belaka. (Penulis adalah Direktur Eksekutive LSM Sembilan)

BERITA LAINNYA

Posting Komentar

0 Komentar