Merangin, J24-Pemerintah Kabupaten Merangin sedang memainkan drama yang memalukan.
Lima bulan gaji tenaga honorer tak kunjung dibayar, dan kini terbukti alasan yang selama ini diucapkan ke publik hanyalah sandiwara administratif.
Pemerintah Kabupaten Merangin, melalui Bupati M. Syukur, dalam rilis resmi Dinas Kominfo, menyatakan bahwa keterlambatan pembayaran gaji tenaga honorer terjadi karena masih menunggu surat dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) serta kepastian hukum dari Kementerian PAN-RB.
Pernyataan itu, yang diucapkan di hadapan publik, seolah-olah meyakinkan bahwa hambatan itu datang dari pusat. Namun semua itu ternyata hanyalah narasi yang direkayasa.
Setelah DPRD Merangin melakukan penelusuran langsung ke BKN dan Kemenpan-RB di Jakarta, fakta yang ditemukan justru mencengangkan tidak pernah ada surat dari Pemkab Merangin yang dikirim ke BKN.
Surat yang disebut-sebut sudah dikirim itu tidak pernah ada — alias fiktif. Lebih parah lagi, BKN dan Kemenpan-RB menegaskan tidak ada aturan yang melarang pemerintah daerah membayar gaji honorer yang sudah bekerja.
Artinya, selama ini publik telah disuguhi kebohongan berlapis. Pertama, dengan alasan “menunggu surat dari BKN” yang ternyata tidak pernah dikirim.
Kedua, dengan dalih “menunggu kepastian hukum dari Kemenpan-RB” yang juga tidak pernah menjadi hambatan.
Fakta-fakta ini menggambarkan bahwa akar persoalan bukan pada pusat, melainkan di pemerintahan daerah itu sendiri.
Anggaran untuk pembayaran tenaga honorer sudah tersedia di APBD, namun kemauan politik dan ketertiban administrasi justru absen. Dan alih-alih jujur mengakui kelalaian, pemerintah memilih menyusun cerita bohong.
Drama surat palsu ini menelanjangi wajah asli tata kelola pemerintahan Merangin yang kian jauh dari nilai keterbukaan dan tanggung jawab publik.
Ketika bupati berbicara tentang “kepastian hukum”, ribuan honorer justru hidup dalam ketidakpastian hidup. Mereka tetap bekerja, tetap loyal, meski hak mereka digantung tanpa kejelasan.
Kebohongan seperti ini tidak bisa dianggap sepele. Ia meruntuhkan fondasi kepercayaan antara rakyat dan pemerintah, dan menandai krisis moral di dalam kepemimpinan daerah.
Sebab ketika penguasa berani berbohong kepada publik untuk menutupi kelalaiannya, maka pemerintahan itu sudah kehilangan kehormatan.
Kini, bola panas ada di tangan DPRD. Sebagai wakil rakyat, mereka punya tanggung jawab moral dan politik untuk menindaklanjuti temuan ini — bukan sekadar dengan klarifikasi, tapi dengan tindakan tegas, termasuk penggunaan hak interpelasi atau penyelidikan khusus.
Sementara bagi publik, pelajaran dari drama ini sederhana: Jangan lagi percaya pada kata-kata, sebelum melihat buktinya. Sebab dalam kisah ini, bukan hukum yang menjadi penghalang, bukan pusat yang menjadi kambing hitam, tetapi daerah sendiri yang memilih menahan hak rakyat dengan kebohongan yang disusun rapi.
Dan jika pemerintah daerah masih punya nurani, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah membayar gaji honorer secepatnya, serta mengakui bahwa kebohongan itu pernah diucapkan di depan publik.
Karena dalam pemerintahan yang beradab, kejujuran adalah dasar dari kekuasaan. Dan di Merangin hari ini, dasar itu sedang runtuh — bersama runtuhnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintahnya sendiri.(JPO-Red)
0Komentar